My Coldest CEO

11| Some Go And Come



11| Some Go And Come

0Lelah, hanya itu hang mampu menggambarkan keadaan Leo pada saat ini. Ia sudah menginjakkan kaki di lantai rumahnya yang megah, tentu saja tanpa ada seorang wanita yang mengikuti dirinya. Menyebalkan sekali kalau sampai Azrell ikut ke sini, bisa-bisa ia tidak bisa mengerjakan segala pekerjaannya.     

Tadi, ia sudah mengistirahatkan dirinya sebentar di rumah Azrell. Terbangun karena teringat harus terbang ke Mexico untuk menemui sang kolega besar yang ada di sana, mati-matian dirinya rela untuk terbang ke sana karena memang selain bersifat profesional, ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk bekerja sama dengan kolega besar ternama yang masih sebanding dengan Luis Company.     

Hari sudah hampir menginjak fajar, namun tidak membuat dirinya untuk menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dan kembali dengan memakai sebuah tuxedo kebanggaan yang sudah melekat di tubuh kekarnya.     

Melihat ke arah jam, ternyata kini sudah pukul enam sore. Kira-kira perjalanan dari London ke Mexico hanya di tempuh dalam waktu 9 jam 55 menit saja dengan kecepatan jet pribadi yang di miliki olehnya. Siapa yang bilang ia menitipkan jet di bandara? Tentu saja ia memiliki lapangan landasan tersendiri yang berada tidak jauh dari rumahnya. Lagi dan lagi, memang para orang-orang terpandang seperti dirinya suka sekali untuk tinggal di luar pekarangan rumah mewah lainnya.     

Mengambil koper yang sudah ia masukkan segala dokumen penting, lalu di jinjingnya dengan tangan kiri. Merapihkan sedikit dasinya, dan sudah memakai sepatu pantofel kulit yang alangkah lebih baik tidak perlu menyebutkan harganya.     

Leo mulai jalan ke luar kamar, lalu menuruni tangga. Ia melewati Chef Bara yang tampak baru ingin pemanasan untuk membuatkan sesuatu bagi sang Tuan rumah.     

"Kamu mau ngapain, Bara? Kok sudah bersiap-siap dengan seragam mu dan berbagai macam peralatan dan bahan?"     

"Ah Tuan, saya ingin membuat makan malam untuk mu. Dan mau kemana buru-buru?"     

Leo memijat pangkal hidungnya, ia lupa kalau belum memberikan jadwal terbaru dirinya ke beberapa maid yang memegang kendali pekerjaan penting di dalam rumahnya ini. "Ah maaf ini kesalahan saya, saya belum memberikan jadwal ya?" ucapnya dengan nada yang terdengar tenang.     

Padahal kini di hatinya terbesit rasa bersalah. Karena seharusnya kalau dirinya sibuk seperti ini, Bara boleh bergegas pulang ke rumah untuk menghabiskan waktu makan malam bersama keluarganya.     

"Belum, Tuan."     

"Jadi, malam ini saya tidak makan malam di sini. Saya juga harus ke Mexico untuk mengurus pekerjaan,"     

"Kira-kira kapan Tuan kembali?"     

"Berhubung saya kesana hanya dengan pilot dan bodyguard saja, kemungkinan hanya tiga hari."     

"Kalau begitu, baiklah Tuan."     

"Dan selama itu, kau harus tetap bekerja. Dan boleh juga memasak apapun yang kau mau, ajak saja para maid di rumah ini untuk makan bersama. Anggap saja tiga hari terbebas tanpa saya."     

"Tapi Tuan, itu sangat tidak sopan."     

"Kalau begitu, atur saja sesuka mu."     

Leo mengangkat tangannya ke udara, menyela Bara yang ingin mengatakan suatu pertentangan lagi. Ia memberikan aba-aba kalau dirinya tidak ingin di bantah lagi. Toh memang apa ada yang salah dengan ucapannya? Terlewat baik, huh? Sepertinya tidak, ya anggap saja jika ucapannya tadi hanya untuk memberikan imbalan bagi para maid atas kerja sama mereka.     

"Oh ya, kalau nanti ada seorang wanita yang ke sini, bilang saja saya ada urusan penting di Mexico."     

Leo teringat sosok Azrell yang belum ia beri kabar sama sekali. Saat nanti berada di dalam jet pribadi, ia selalu enggan untuk memainkan ponsel. Berakhir dengan acara minum-minum dan bermain karambol bersama bodyguard yang memang selalu di sewa dirinya kalau ingin pergi ke tempat yang jauh.     

Bara tampak menganggukkan kepalanya, yang bisa ia lakukan adalah menuruti semua perkataan Leo. "Baik Tuan, apa ada pesan lagi untuk dirinya?" tanyanya dengan nada bicara yang terkesan santai namun kesopanannya juga ada.     

Leo sedikit berpikir, bagaimana kalau Azrell mengamuk? Ah sudah pasti wanita itu akan berubah menjadi singa ganas yang akan menerkam dirinya. "Kalau begitu, hidangkan saja makanan yang paling spesial. Lobster atau apapun itu terserah kamu," ucapnya.     

Di dalam rumah Leo sebenarnya ada banyak sekali berbagai macam menu makanan, bahkan hampir seluruh bahannya tersedia. Kalau ada yang sudah kurang segar, pasti laki-laki tersebut langsung menyuruh Bara untuk mengolahnya dan di makan atau di bawa pulang untuk para keluarga.     

Terlampau kaya, namun tidak pernah menyombongkan diri. Leo adalah laki-laki sempurna yang kehilangan wanitanya, apa kalian ingin menemaninya?     

"Baik, Tuan. Nanti akan saya hidangkan menu yang paling spesial supaya wanita tersebut tidak kecewa dengan kepergian mu,"     

"Jangan biarkan dia mengamuk, kalau bisa biarkan nanti wanita itu melakukan apapun di rumah ini. Tolong layani dengan ramah,"     

"Baik Tuan, noted."     

Setelah merasa cukup dengan pesan yang ia sampaikan, Leo kembali melanjutkan langkahnya untuk keluar dari rumah megah hasil kerja kerasnya ini. Melihat ke arah seorang private driver miliknya, lalu menganggukkan kepalanya. "Ayo kita berangkat," ucapnya yang memberikan aba-aba seorang laki-laki dengan seragamnya itu kalau dirinya sudah siap.     

"Baik, Tuan."     

Leo di bukakan pintu mobil, lalu mulai masuk ke dalam mobilnya pada pintu belakang.     

"Mexico, I'm coming." gumam Leo yang sudah berhasil memasangkan seat belt ke tubuhnya. Tiga hari bekerja sekalian berjalan-jalan, melepaskan penat dari seluruh kesibukan di London.     

...     

"Aku ini seorang ART,"     

"Gak punya gaun juga gak punya uang."     

"Aku ini seorang ART,"     

"Nasib kasihan, gak berharap dapat pangeran."     

Felia yang tengah memegang kain pel itu pun mengelap peluh yang berada di pelipisnya. Ia tersenyum puas kala nyanyian yang keluar dari dalam mulutnya habis bersamaan dengan selesainya pekerjaan rumah hari ini.     

Ia menatap ke arah luar rumah, pekarangan rumah yang berderet di sekitar pekarangan rumah saat ini sudah terpantul sinar jingga yang menandakan matahari akan segera tenggelam.     

"Ih kayaknya lihat sunshine di pantai enak deh, coba aja view di depan rumah ini langsung pantai pasti sangat menyenangkan."     

Sudah lama sekali ia tidak berjalan-jalan, rasanya butuh udara segar namun ia tidak ingin membuang kesempatan untuk bekerja dan mendapatkan uang. Mungkin menyisihkan sedikit demi sedikit hasil uang gajinya adalah ide yang bagus. Ia saat ini fokus bekerja keras terlebih dahulu, baru nanti menikmati hasilnya di akhir perjuangan.     

Menatap kain pel seolah-olah benda mati itu adalah lawan bicaranya, ia mengerucutkan bibirnya. "Menyebalkan sekali, kalau saja satu kain pel di hargai seribu dolar mungkin aku sudah kaya." ucapnya. Namun pada detik selanjutnya, ia segera terkekeh kecil. Lihat, sifat abstrak dirinya sudah menguasai diri, astaga.     

Menunggu lantai kering, ia langsung saja duduk di kursi yang terdapat di depan teras lalu menatap kakinya yang bergoyang ke depan belakang.     

Sandal harga tujuh dolar, kaos harga lima dolar, di padukan dengan celana pendek yang hanya berharga empat dolar. Rasanya memang ia tidak akan pernah bisa bersanding dengan laki-laki sempurna.     

Tin     

Tin     

Felia mendongakkan kepalanya, lalu melihat sebuah mobil BMW yang mulai memasuki pekarangan rumah Tuan-nya.     

Menunggu seseorang yang sudah memarkirkan mobil di halaman utama, lalu terlihat seorang wanita yang tengah keluar dari mobilnya.     

"Ica!" pekiknya yang tidak menyangka jika wanita itu datang, menaruh kain pel ke dekat sudut ruangan, lalu mulai beranjak dari duduknya.     

Ia berlari kecil ke arah wanita yang ia panggil Ica dengan senyuman merekah, mulai merentangkan tangan dan menubruk tubuh body goals itu. "IHHHH AKHIRNYA KAMU KE SINI JUGA!!"     

"Felia, kamu meluk gue atau cekik aku?"     

Dengan meringis kecil karena tindakannya ini berlebihan, ia langsung saja melepaskan pelukan mereka. "Aish maaf aku sangat bersemangat, Ica!"     

"Kangen dengan diri ku, huh?"     

"Tentu saja, ayo kita bertukar cerita!"     

"Tapi sambil maskeran wajah, oke?"     

Felia menaikkan sebelah alisnya, lalu menggelengkan kepala. "Tidak mau, untuk apa maskeran wajah? Buang-buang uang dan sangat tidak penting." Ya memang dirinya jarang, ah bukan jarang tapi tidak pernah merawat wajahnya dengan berbagai macam perawatan instan yang banyak di jual pada pusat perbelanjaan dan juga super market. Tapi sejauh ini, wajahnya masih terlihat selembut kulit bayi.     

"Ayolah, sekali aja, oke?"     

Melihat wajah Ica yang mengeluarkan sebuah raut wajah permohonan, Felia langsung saja menghembuskan napasnya. "Baiklah, sekali ini saja." ucapnya.     

"Tapi kalau ketagihan, aku akan memberikan semua masker favorit ku untuk kamu."     

"Tidak, itu tidak akan terjadi. Ibarat sebuah kemustahilan, sudah pasti tidak akan terwujud."     

Ica yang melihat pemikiran bebal Felia itu pun terkekeh kecil, ia paling suka meledek wanita tersebut dengan topik sensitif seperti ini. "Kenapa kamu di luar? Bukannya di dalam saja menonton televisi sambil memakan yoghurt, ah itu nikmat sekali." ucapnya yang mengalihkan perhatian.     

Felia menolehkan kepalanya ke arah kain pel yang berada di sudut teras sambil mengarahkan tangannya. "Itu, biasa habis ngepel. Jangan masuk dulu nanti kepeleset aku bisa gawat di marahi Tuan rumah," ucapnya.     

"Panggil saja Daddy, orang tua ku juga orang tua mu." ucap Ica yang sambil mengambil helaian rambut milih Felia, lalu di taruh ke belakang telinga wanita tersebut.     

Felia terkekeh kecil, perkataan Ica terdengar sangat mustahil. "Ah tidak, rasanya tidak pantas." ucapnya yang menolak ucapan wanita itu.     

"Ah nanti aku akan katakan Daddy supaya kamu tinggal di kamar ku saja, untuk apa masih tinggal di tempat penuh barang rongsokan di halaman belakang." ucap Ica yang memang memiliki sifat yang pemaksa. Lagipula ini ia lakukan untuk kebaikan Felia, bukan untuk dirinya sendiri kok.     

"Nyaman, mungkin?" jawab Felia dengan sorot mata kebingungan. Ia sepertinya ia terdengar ragu-ragu dengan jawabannya sendiri.     

"Ini bukan tentang kenyamanan, tapi tentang banyak hal yang bisa membuat kamu merasa kecukupan." ucap Ica dengan sebuah senyuman yang sangat manis dan mempesona.     

Membuat perbandingan bagi Felia kalau dirinya memang kalah jauh dengan wanita yang memiliki tingkat fashion yang tinggi itu. Apalagi melihat body-nya, astaga dirinya saja terlihat kurus.     

"Ta-tapi..."     

"Jangan membantah seorang Azrella Farisha Wallie, Felia."     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.